Tuesday, December 2, 2008

Tren menurun nilai tukar perdagangan Internasional negara-negara berkembang

Tren menurun nilai tukar perdagangan Internasional negara-negara berkembang
Perkembangan terakhir di negara berkembang setelah terjadinya krisis keuangan (finansial) global yang diawali oleh krisis keuangan di Amerika Serikat berdampak menyeret perekonomian ke dalam krisis nilai tukar yang berpotensi berkembang menjadi krisis mata uang terbesar yang pernah ada (menurut istilah Krugman : the mother of all currency crisis).
Dampak krisis global mengakibatkan resesi di sejumlah negara berkembang. Rontoknya nilai tukar uang akibat penarikan dana oleh investor, yang dibarengi dengan anjloknya penerimaan ekspor dan tingginya inflasi, memunculkan resiko kebangkrutan seluruh ekonomi berkembang.
Di Indonesia, penurunan nilai tukar rupiah lebih banyak karena terimbas kinerja bursa saham yang masih belum menggembirakan. Beberapa analis menyebutkan aksi jual saham yang lebih banyak dibandingkan dengan yang dibeli investor asing menjadikan perburuan dolar Amerika Serikat lebih tinggi lagi, sehingga rupiah masih tertekan.
Kekhawatiran krisis ekonomi Amerka Serikat berkembang menjadi resesi global menjadi salah satu pemicu investor asing meninggalkan bursa saham di negara berkembang.
Sejauh ini, sudah 6 negara Eropa Timur yang meminta uluran tangan Dana Moneter Internasional (IMF), yakni Hongaria, Eslandia, Rusia, Ukraina, Turki, dan Belarus. Nasib sama juga dialami emerging market Di Amerika Latin diantaranya Argentina yang berpotensi terpuruk dalam krisis utang lagi. Di Asia, baru Pakistan yang mengajukan permintaan dana darurat dari IMF.
Krugman dan analis valas (valuta asing) di Morgan Stanley, Stephen Jen, mencemaskan akan terjadinya kejatuhan tajam (hard landing) nilai aset-aset dan perekonomian emerging markets. Ini berpotensi menjadi pemicu (episentrum) krisis global baru / krisis global babak kedua (setelah krisis finansial AS) dalam beberapa bulan mendatang. Dampak krisis ini juga akan sangat memukul negara maju dan perekonomian global.
Sejauh ini, langkah stimulus (rangsangan) yang ditempuh baru menyangkut sektor industri. Pemerintah Bush mengungkapkan kemungkinan memperluas jangkauan “bail out” (penyelamatan) ke sektor asuransi dengan nilai total dana talangan lebih dari 2 triliun dollar AS. Namun, tak sedikitpun mereka menyebut kemungkinan dikeluarkannya paket penyelamatan bagi jutaan warga yang terancam kehilangan pekerjaan, rumah, dan tabungan. Artinya, masih banyak yang harus dilakukan sebelum ekonomi AS benar-benar pulih !
Bagi perekonomian global dan negara berkembang (tentunya termasuk Indonesia), ini merupakan kabar buruk sekaligus pesan untuk menjaga stamina menghadapi resesi berkepanjangan !
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksikan akan terjadi perlambatan ekonomi global beberapa triwulan ke depan. Pemulihan ekonomi baru akan terjadi tahun 2010 dengan pertumbuhan ekonomi global 3,9 % tahun 2008 dan 3 % tahun 2009. Di AS sendiri, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya tumbuh 0,1% tahun 2009. (Sumber dicuplik dan diedit dari : artikel berjudul “Awas, Babak Kedua Krisis Global !”, harian Kompas, 31 Oktober 2008)
Untuk menjaga perekonomian Indonesia tetap tumbuh, disarankan agar memenuhi kebutuhan komoditas energi dan pangan dari pasar domestik. Demikian disampaikan Chief Economist Deutsche Bank Group, Norbert Walter, Rabu (13/8/08) di Jakarta. “Tahun 2010 merupakan waktu yang paling cepat untuk keluar dari keadaan yang suram ini,“ kata Walter.
Melemahnya perekonomian AS dan Eropa, kata Walter, memberi pengaruh signifikan terhadap prospek pertumbuhan Asia. Terlebih, gejolak pasar finansial yang terjadi di AS juga menimpa negara-negara berkembang. Hal ini tampak dari perdagangan intra-regional yang telah meluas cukup cepat. “Negara berkembang merupakan pilar terakhir pertumbuhan global,” kata Walter.
Pendapat senada disampaikan Kepala Ekonom Bank BNI, Tony Prasentiantono. Dia menjelaskan, pertumbuhan perdagangan intra Asia telah membuat perekonomian negara-negara di benua ini lebih bertahan. Dampak dari krisis perumahan serta ketergantungan terhadap AS dan Eropa semakin berkurang.



Sumber : www.vanillamist.com
Kompas, 14 Agustus 2008
Kompas, 31 Oktober 2008

No comments: